Mereka Takut Iran Dicintai Umat Islam
Saturday, 28 June 2025
Edit
Mereka Takut Iran Dicintai Umat Islam: "HTI, Wahabi, dan Para Pembual di Tengah Genosida Gaza"
Oleh: M. Fazwan Wasahua
Di Gaza, anak-anak tidak punya banyak waktu untuk membedakan siapa yang tulus dan siapa yang munafik. Di antara reruntuhan, yang penting bukan mazhab, bukan jargon, bukan bendera. Tapi siapa yang memberi roti, senjata, dan harapan.
Roket yang membelah malam dari Khan Younis bukan dibeli dari Dubai. Bukan pula dikirim dari Riyadh. Ia dibuat di lorong-lorong gelap yang listriknya hanya menyala 3 jam sehari. Tapi materialnya? Teknologinya? Siapa yang mengajari?
Mereka bilang Gaza sendiri. Mereka berbisik di mimbar dan kanal YouTube: jangan percaya pada Iran. Iran itu Syiah. Iran punya agenda. Iran ingin mendomestikasi Palestina dalam porosnya. Tapi mereka tak pernah menjawab satu pertanyaan sederhana: kalau bukan Iran, lalu siapa?
Sejak 1979, Republik Islam itu menyatakan bahwa Palestina adalah "urusan utama dunia Islam". Kata-kata yang tidak pernah keluar dari bibir raja-raja petro-dollar. Kata-kata yang tak pernah dijadikan khutbah Jumat oleh para dai salafi urban.
Tentu, Iran bukan tanpa cela, dan ia tak sempurna. Namun, di banyak panggung politik, ia berdiri sendiri dengan caranya yang keras kepala. Tapi ia tetap berdiri. Sementara yang lain duduk, menandatangani normalisasi, menyambut delagasi Israel dan barat dengan karpet diplomatik dan hotel bintang tujuh.
Gaza sendiri? Mungkin. Tapi siapa yang menyiapkan jalur darat, mengirim persenjataan melalui Sinai, menyuplai dana ketika blokade mencekik dari utara, barat, dan selatan? Apakah itu datang dari para pangeran yang melarang bendera Palestina dikibarkan di stadion bola mereka?
Mereka ingin kita melupakan Yahya Sinwar. Lupa akan pernyataannya yang jujur: "Tanpa Iran, kami tak akan mampu melanjutkan perlawanan." Pernyataan yang tak dikutip oleh para sisinisme yang ngaku Sunni, HTI, dan Wahabi politis. Tak dimasukkan ke dalam narasi mereka yang memelintir realitas.
Alih-alih melihat kenyataan, mereka lebih sibuk mencari-cari pernyataan Khalid Misy’al, lalu mengemasnya sebagai dalih: “Lihat, bahkan Hamas tak percaya pada Iran.” Padahal konteksnya adalah diplomasi, dan bukan satu penolakan mutlak terhadap dukungan.
Ini seperti menuduh seseorang yang tak menyebut nama ibunya dalam pidato, sebagai anak durhaka. Atau menuduh burung sebagai makhluk bumi karena tak menyebut langit saat berkicau. Dunia politik punya logikanya sendiri. Dan logika para sinisme seperti mereka tak cocok memahaminya.
Iran, untuk semua kontradiksi dan keterasingannya, tetap mengirim uang, transfer teknologi rudal, dan membangun poros perlawanan untuk membela palestina secara terang-terangan. Sementara para da'i mereka mengirim cuitan. Iran mengasah perlawanan. Sementara mereka mengasah polemik. Iran menyuplai militer, mereka menyuplai meme. Bahkan negara-negara yang mereka anggap pusat-pusat sunni, wahabi, HTI, justru membangun keakraban dengan israel. Dan mereka menyebutnya: normalisasi.
Normalisasi macam apa yang di bangun penuh mahligai dengan israel sementara di saat yang sama gaza diluluh-lantahkan?
Tidak, tulisan ini bukan ingin mendewakan Teheran. Tapi mari kita bicara adil. Sebab orang yang membenci seseorang karena ia berbeda mazhab, dan kemudian menolak bantuannya yang nyata, adalah orang yang lebih mencintai egonya daripada saudaranya.
Gaza tidak hanya dihancurkan oleh israel. Ia dikhianati oleh sebagian besar umat Islam sendiri. Dikhianati oleh mereka yang bertepuk tangan ketika satu negara Muslim menormalisasi hubungan. Dikhianati oleh organisasi yang katanya "jihad global", tapi tak pernah mengirim satu peluru pun ke Rafah, Jenin, Khan Yunis.
Apa yang lebih menyakitkan dari dikhianati bukan oleh musuh, tapi oleh saudara yang mengaku mencintai?
Wahabi, HTI, dan kelompok sektarian sejenisnya, hanya menonton. Atau lebih buruk: mencurigai. Setiap bantuan Iran kepada Gaza mereka terjemahkan sebagai "agenda Syiah". Seakan-akan pertolongan harus dicek dulu akidahnya sebelum diterima. Lalu mereka bertanya: kenapa Iran tak kirim pasukan ke Gaza? Padahal, mereka sendiri bahkan tak berani mengutuk Israel dengan nama. Mereka menggunakan frasa-frasa abu-abu: "penjajah", "rezim ilegal". Sementara kata “Israel” mereka simpan rapat di balik syak wasangka.
Sementara di Iran, seruan "Mampus Amerika", "Mampus Israel", 'Mampus Inggris", adalah lantunan merdu perlawanan yang telah menggema sejak Revolusi Islam 1979.
Lalu, apa yang telah dilakukan oleh Negara-negarayang mengaku sunnah itu, selain menciptakan pertikaian? Selain mengkafirkan Syi'ah, mengkafirkan Hizbullah, dan memperdagangkan slogan Palestina saat butuh donasi atau simpati.
Di satu waktu mereka teriak "Free Palestine!" Di waktu yang lain mereka foto bersama Trump dan bahkan dengan menteri luar negeri israel. Dunia macam apa yang mereka bangun, kecuali teater absurd yang penuh kebohongan dan bedak-bedak sektarianisme?
Iran memang berdiri sendiri, karena ia tahu banyak yang tidak menyukai prinsipnya dan mazhabnya. Tapi dalam kesendiriannya, ia tetap mengulurkan tangan. Gaza tahu itu. Hizbullah tahu itu. Yaman tau itu. Bahkan CIA pun tahu itu. Karena mereka semua mencatat siapa yang sebenarnya mempersenjatai siapa.
Cinta yang tak diterima karena berbeda mazhab adalah tragedi. Tapi lebih tragis lagi adalah pengkhianatan yang dibungkus dengan nama akidah. Wahabi tidak pernah mau Palestina merdeka oleh tangan selain tangan mereka sendiri — tangan yang tidak pernah bergerak.
Dan kita melihat, saat Gaza dibombardir, para ulama mereka justru berceramah soal “kesesatan Rafidhah”, bukan soal perlawanan. Mereka lebih takut umat mencintai Iran daripada Israel mencabik-cabik tubuh anak-anak.
Mereka bukan penjaga tauhid. Mereka penjaga panggung. Sementara darah Gaza mengalir, mereka mengatur pencahayaan untuk tampil sempurna di video tausiyah. “Jangan dukung Iran,” kata mereka, “karena nanti kalian jadi Syiah.” Seakan-akan solidaritas itu bid’ah.
Lalu mereka buat video, meme dan narasi. Mereka tuduh Hizbullah antek Amerika. Mereka bilang Iran sekutu Yahudi. Tapi ketika F-35 Israel memporakporandakan rumah-rumah, mereka hanya senyap, atau hanya mampu berdoa sembari membual. Sementara Gaza tak mendengar satupun pesawat bantuan dari Riyadh, dari Kairo, Dubai, Qatar, Turki. Bahkan, tak ada satupun peluru dari para jihadis global yang mereka citrakan sebagai pejuang Islam, pembela sunnah yang menyentuh perbatas israel.
Palestina adalah ujian terbesar bagi umat Islam, bahkan kemanusiaan. Dan banyak yang gagal. Bukan karena kurang dana. Tapi karena kebencian mereka lebih besar daripada kasih sayang.
Yang menarik adalah: mereka sangat benci Iran, tapi tidak pada negara-negara Arab yang jelas-jelas bersekutu dengan musuh. Di antara kebencian dan kemunafikan, mereka memilih yang kedua agar tetap terlihat moderat.
Normalisasi dengan Israel kini dijadikan simbol kemajuan. Tapi satu bantuan Iran ke Gaza dijadikan ancaman. Inilah dunia di mana bantuan diklasifikasi berdasarkan sekte.
Lalu mereka bilang: “Iran ingin mendominasi.” Tapi bukankah lebih baik didominasi oleh orang yang membantu, daripada disanjung oleh orang yang menonton? Apakah yang lebih menyakitkan: bantuan yang punya agenda, atau keprihatinan yang pura-pura?
Iran mungkin punya kepentingan. Tapi siapa yang tidak punya kepentingan? Bahkan doa kita pun kadang punya kepentingan: agar kita selamat, agar keluarga bahagia, agar tak masuk neraka. Jadi, kenapa hanya Iran yang tak boleh punya kepentingan?
Yang membedakan adalah: Iran tidak pernah berpura-pura. Mereka menyebut nama musuh dengan jelas. Mereka kirim rudal ke Hizbullah. Mereka biayai Jihad Islam. Mereka transfer teknologi ke Yaman. Mereka kirim penasihat militer ke Gaza. Sementara yang lain kirim doa lewat WhatsApp.
Bila Iran harus disalahkan karena membantu Palestina, maka siapa yang pantas dibenarkan karena menontonnya menderita?
Mereka membuat kita membenci satu-satunya negara yang secara konsisten berdiri di pihak perlawanan. Mereka mengaburkan mata kita, agar kita lebih takut pada Syiah daripada pada Zionis.
Dan akhirnya, mereka ingin kita memilih: ikut mazhab kami, atau jangan bicara soal Iran yang membantu Gaza. Seakan-akan perjuangan harus mendapat izin dari otoritas fiqh mereka yang sangat ahli dalam membuat ceramah, tapi tidak ahli membuat roket.
Kita tidak butuh propaganda. Kita butuh kejujuran. Dan kejujuran itu berkata: tanpa Iran, Gaza mungkin sudah jadi museum perlawanan. Mereka yang kini bersuara di tenda-tenda pengungsi, mungkin sudah jadi arkeologi sejarah.
Jadi jangan ajari kami bagaimana mencintai Gaza. Jangan beri kami daftar mazhab siapa yang boleh membantu. Jangan katakan: lebih baik sendiri daripada dibantu oleh Syiah. Karena Gaza sendiri tak pernah bertanya: darimana datangnya peluru. Bagi mereka, darimana pun, asalkan bisa untuk melawan.
Gaza dan perlawanannya tak butuh mereka yang sinisme. Ia butuh lebih banyak orang jujur. Dan kejujuran hari ini adalah berkata: Iran, bagaimanapun politiknya, telah berdiri saat yang lain tenggelam.
Dan mungkin itu yang paling mereka takuti. Bahwa ketika umat tahu siapa yang benar-benar berbuat, semua retorika Wahabi, HTI, dan kelompok sejenis akan tenggelam. Karena ternyata, yang paling keras mengkafirkan, adalah yang paling keras meninggalkan.
Dan Gaza tahu itu. Maka jangan ajari Gaza bagaimana membedakan teman dan musuh. Karena ia sudah bertahan tanpa kita. Dan itu, harusnya membuat kita malu.
***
Di belakang layar-layar dakwah dan kanal donasi, para pemuka para ustad-ustad Wahabi berbicara dalam bahasa sektarian yang licik. Mereka tidak pernah benar-benar membela Palestina. Mereka hanya menjadikan Palestina sebagai panggung untuk menyerang musuh-musuh mazhab mereka. Gaza adalah alat, bukan tujuan.
HTI pun sama. Di permukaan mereka tampak seperti pembela panji Khilafah, tapi di balik itu, mereka terlalu sibuk memetakan peta mazhab, bukan medan pertempuran. Bagi mereka, kemenangan Gaza hanya sah jika di bawah satu panji hitam. Jika tidak, maka itu cuma bagian dari "perang Syiah".
Yang lebih ironis, mereka mengklaim Palestina. Mereka teriak takbir untuk Palestina, tapi tak sudi berdiri bersama Hizbullah. Mereka membela Al-Aqsha, tapi diam saat Iran membangun poros perlawanan untuk membela Al-Aqsha. Solidaritas mereka selalu disertai syarat keimanan versi mereka sendiri.
Di balik kerah jubah dan sorban, mereka sembunyikan ego sektarian yang lebih berbahaya dari peluru Zionis. Bagi mereka, menyelamatkan akidah lebih penting daripada menyelamatkan nyawa anak-anak Palestina. Padahal akidah mereka tidak pernah membawa satu senjata pun ke medan tempur. Akidah mereka akan menjadi sampah peradaban. Menjadi aib sejarah.
Negara-negara Arab pun bahkan lebih buruknya. Uang mereka ada. Jet mereka canggih. Namun pangkalan militer Amerika berdiri megah di tanah mereka. Di tengah semua kekayaan mereka, tak satu pun digunakan untuk menekan Israel. Bahkan ketika rumah sakit dihancurkan dan bayi-bayi hancur di inkubator, mereka hanya mengangkat bahu, sembari memberikam pernyataan keprihatinannya. Tapi sejatah tahu, semua itu hanyalah pura-pura.
Arab Saudi memeluk Amerika lebih erat daripada memeluk rakyat Gaza. UEA menyambut delegasi Israel dengan pesta lampu dan pesawat khusus. Bahrain memberi ruang diplomatik bagi Zionis, dan menyebutnya sebagai "terobosan perdamaian". Damai macam apa yang tumbuh di atas puing-puing darah?
Mereka yang dulu bersorak bahwa Iran dan Israel hanya sandiwara, kini justru diam saat rudal Iran benar-benar menghantam Haifa. Saat pengaruh Iran makin besar karena konsistensinya, mereka kembali menyebar bisik-bisik: "Itu bukan demi Gaza, tapi demi hegemoninya sendiri."
Logika mereka selalu berubah agar cocok dengan kebencian mereka. Dulu mereka bilang Iran hanya pura-pura musuh Israel. Sekarang mereka bilang: "Iran memang melawan Israel, tapi Gaza tetap sendiri." Lalu mereka sendiri, bikin apa? Mayoritas negara yang katanya sunni, salafi, itu bikin apa?
Kalau Gaza memang sendiri, bukankah itu lebih karena para negara Arab hanya sibuk berfoto dengan Netanyahu? Bukankah itu karena para pengklaim jihad hanya sibuk membuat film dokumenter? Bukankah itu karena suara Sunni hanya menggema saat menyebut Syiah, bukan saat menyebut Zionis?
Sejak kapan mereka benar-benar mengecam Israel tanpa basa-basi? Sejak kapan mereka menggalang kekuatan untuk mengirim bala bantuan, bukan sekadar retorika? Sejak kapan mereka benar-benar mendidik umat agar melawan zionisme, bukan malah sibuk menebar fitnah kepada Iran dan Hizbullah?
Jawabannya: tidak pernah! Mereka lebih suka melawan bayangan sendiri, dan meninggalkan realitas di medan pertempuran. Mereka adalah pejuang di ruang kuliah WhatsApp, mujahid di atas mimbar podcast, singa saat debat mazhab, tapi kucing saat mendengar sirene peringatan di Gaza.
Dan mereka akan terus berkata: "Kami tidak benci Palestina, kami hanya hati-hati dengan Iran." Padahal kehati-hatian mereka hanya alasan untuk tidak bergerak. Tidak mengutuk. Tidak menyumbang. Tidak berdiri di sisi siapa pun kecuali bayangan kesalehan diri sendiri.
Apa bedanya mereka dengan para penguasa Arab yang menyambut perjanjian Abraham? Bukankah keduanya sama-sama membuat Palestina jadi alat dagang identitas? Satu berdagang diplomasi, satu berdagang purifikasi mazhab.
Jadi, jika hari ini Iran disambut di jalan-jalan Gaza dan Rafah, itu karena yang lain tidak pernah benar-benar hadir. Jika bendera Hizbullah dikibarkan di Gaza, itu karena tak ada bendera lain yang datang membawa senjata. Dunia hanya menyambut mereka yang hadir, bukan yang banyak omong.
Dan mereka, para sinis itu, tahu. Mereka tahu bahwa mereka sedang kalah secara moral. Maka mereka pilih menyerang dari sisi lain: menyebar kebencian, menuduh Iran punya ambisi, menuduh Gaza sudah jadi alat politik. Padahal mereka sendiri yang menjadikan semua ini permainan narasi.
Kenyataannya, Gaza tetap berdiri bukan karena dunia Islam, tapi meski ditinggalkan oleh dunia Islam, Gaza tetap membalas meski tak punya logistik. Gaza tetap percaya meski dikhianati oleh mereka yang mengaku sebagai saudara akidah.
Kritik terbesar bukan pada Iran. Tapi pada mereka yang mengaku berada di pihak yang benar, tapi tak pernah benar-benar hadir. Kritik ini bukan soal siapa yang Syiah atau Sunni. Tapi siapa yang datang saat darah mengalir, dan siapa yang sibuk menyaring akidah dari darah itu.
Umat Islam, bahkan juga umat manusia, tidak butuh lagi ustad-ustad yang omong kosong lagi pembual. Umat butuh kejujuran: bahwa perjuangan adalah kerja nyata, bukan perdebatan fiqih dan skenario konspirasi yang tak pernah selesai. Bahwa satu roket lebih bermakna daripada seribu tausiyah yang hanya menanamkan curiga.
Dan Gaza tahu itu. Ia mengenali siapa yang datang di waktu gelap. Maka biarlah mereka yang takut pada Iran terus tenggelam dalam retorika. Gaza tidak butuh mereka. Gaza sudah cukup kenyang dengan bualan. Gaza hanya menunggu siapa yang benar-benar datang — bukan siapa yang paling keras menebar kebencian antar mazhab.
(fb)